Selasa, 16 Desember 2008

Faktor ”X” dalam Fenomena Guru Cabul

Jika Anda rajin menyimak berita di media massa atau elektronik, kata ‘guru cabul’ mungkin sudah familiar di telinga Anda. Anda tidak terlalu kaget lagi dengan berita-berita tentang guru cabul, karena berita ini sudah bukan hal yang aneh lagi. Saya sendiri juga teramat sering menemui berita-berita tentang guru cabul. Misalnya pencabulan oleh seorang guru SD kepada dua siswinya di Pandan Sumatera Utara (koran Harian Indonesia), pencabulan oleh Guru SDN Saronggi 1 Sumenep Madura terhadap lima siswinya (Jawa Pos), dan pencabulan yang dilakukan oleh seorang guru SMP Budi Waluyo Jakarta (Detiknews).

Dahulu, ketika semua pranata sosial masih berada pada koridornya masing-masing, kata ’cabul’ tidaklah terlalu akrab ditelinga masyarakat. Walaupun sejatinya kata tersebut adalah kata bahasa Indonesia asli dan bukan serapan dari bahasa asing. Kata itu mulai bergema dan naik pangkat manakala media massa mulai marak memberitakan tentang dukun cabul. Lalu diikuti dengan pemberitaan tentang guru cabul, dan paling gres adalah pemberitaan seputar kyai cabul.

Secara leksikal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ’cabul’ termasuk dalam golongan kata sifat yang bermakna keji; kotor; tidak senonoh; melanggar adat dan susila; serta melanggar kesopanan.
Adapun kata mencabuli (kata kerja) memiliki makna mencemari kehormatan perempuan; memperkosa. Walaupunn kata ’mencabuli’ identik dengan kata ’memperkosa’ namun jika di terjunkan pada konteks pragmatik tidak bisa sejajar. Kata ’memperkosa’ lebih cenderung difungsikan untuk mereka (pelaku) yang statusnya sederajat sedangkan kata ’mencabuli’ sebaliknya. Dari segi karakteristik dan perubahan kata pun tidak bisa serampangan. Kata ’memperkosa’ tidak bisa dibendakan sedangkan kata ’mencabuli’ bisa. Oleh sebab itulah tidak ada wartawan yang membuat istilah ”Guru Perkosa” tetapi yang masih memungkinkan adalah istilah ”Guru Cabul”. (hehehe...ruwet ya?)

Banyak argumen yang muncul di masyarakat menyikapi maraknya pemberitaan Guru Cabul akhir-akhir ini. Para pakar pendidikan angkat bicara, psikolog pun tidak mau ketinggalan berkomentar. Tidak sedikit guru yang dikeroyok massa karena orang tua siswa yang dicabuli tidak terima. Banyak pula guru yang terseret ke meja hijau dan ujung-ujungnya terjerembab ke sel jeruji besi. Sayangnya, sangat minim atau hampir tidak ada rekan sejawat guru yang mau angkat bicara soal ini. Ada indikasi sikap apriori yang mendera kalangan guru terhadap rekannya. Entah itu sekedar cuci tangan atau tidak mau ambil pusing yang pasti semua seolah tutup mulut. Bila terpaksa komentar itu pun hanya sekelumit dan tidak substansial.

Di sini, saya akan memberikan satu argumen dalam perspektif sosial kultural seorang guru kepada Anda. Argumen saya bukanlah justifikasi atau pembelaan melainkan sharing semata. Atau dalam bahasa gampangnya curhat gitu lah. Jadi, tidak ada tendensi apa pun yang terselip dari argumen saya.

Kenapa seorang guru dengan status sosial terhormat bisa berbuat ’sebejat’ itu? Mungkin itulah pertanyaan dasar yang refleks mengaduk-aduk otak Anda manakala mendengar berita tentang Guru Cabul. Wajar memang jika Anda bertanya demikian, karena fungsi guru hakikatnya adalah untuk mencerdaskan dan mengayomi anak didiknya. Sebagaimana profesi dokter, guru juga memiliki kode etik profesi yang berakibat fatal jika dilanggar. Kode etik itulah yang secara prinsip mengatur ritme kerja dan sikap guru dalam bersosial di sekolah dan masyarakat.

Anda mungkin heran jika membandingkan antara dokter dengan guru jika dikaitkan masalah pencabulan. Hampir tidak pernah kita dengar ada dokter yang mencabuli pasiennya, walaupun sebenarnya potensi itu terbuka lebar lebih-lebih jika ia dokter spesialis kandungan atau kulit dan kelamin. Sedangkan Guru yang notabenenya hanya mengajar dan tidak mengobok-obok organ dalam siswanya malah paling potensial untuk berbuat cabul. Padahal, Guru juga dituntut untuk menanamkan nilai, sikap, pikiran, dan perbuatan positif kepada anak didiknya. Alangkah kontradiktifnya dua fenomena ini. Dari sinilah sebenarnya ada faktor X yang mengambil peran fundamental dalam peristiwa guru mencabuli siswanya tersebut. Faktor X itu adalah:
1. Miskin Iman
Faktor paling kuat dan dominan mengapa seorang guru nekad mencabuli muridnya adalah karena miskin iman. Sekedar mengingatkan, bahwa kadar iman seseorang tidak statis. Akan mengalami ritme naik-turun seiring dengan perubahan cuaca (situasi maksudnya).

2. Guru Bukan Malaikat
Selama guru tersebut masih makan nasi, maka dia bukanlah malaikat tetapi manusia biasa. Artinya, tidak ada yang berbeda antara Anda dengan guru. Mereka juga punya nafsu dan apabila lepas kontrol maka terjadilah selingan pencabulan itu dalam kegiatan mengajarnya di kelas/sekolah.

3. Menunggang Kekuasaan Semiabsolut
Di lingkungan sekolah, guru boleh dikatakan memiliki kekuasaan semiabsolut. Porsi kekuasaan yang sedemikian kuat inilah yang berpotensi ditunggangi oleh nafsu syahwat. Dari kasus-kasus yang sudah berhasil diungkap, ada indikasi bahwa posisi siswa betul-betul merasa tertekan dan terintimidasi oleh sang guru, sehingga tidak jarang siswa tersebut takut untuk lapor kepada siapapun.

4. Masih ada Guru Gadungan
Inilah fakta yang harus Anda waspadai, terutama Anda yang memiliki anak perempuan usia sekolah. Hati-hati dengan guru anak Anda, karena diantara mereka ada yang menyandang predikat guru karena terpaksa alias daripada nganggur. Mereka kering akan jiwa pendidik yang teduh dan mengayomi. Sebaliknya malah cenderung buas dan siap menerkam mangsanya bila timingnya tepat.

5. Tak Ada Niat tapi Ada kesempatan
Ini lumrah terjadi gara-gara Bang Napi selalu mengingatkan setiap hari. Penyakit ini bisa melanda siapa pun dari jenis profesi apa pun. Tidak peduli ia seorang menteri, Anggota DPR, hingga Guru melarat di pelosok hutan rimba lebat gelap gulita pun bisa terkena virus ini.

6. Rayuan Siswa Binal
Nah, inilah yang saya rasakan. Ternyata siswa sekarang cenderung aktif agresif. Hanya sayangnya mengarah pada hal-hal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan sekolah. Biasanya targetnya adalah guru-guru yang masih single plus sedap dipandang. Tapi tidak single juga bisa, asalkan guru tersebut masih memenuhi syarat sedap dipandang. Jika tidak tahan kontrol, fatal-lah akibatnya. Analoginya seperti kucing dikasih ikan pindang.

Guru Cabul bukanlah fenomena lagi, kawan. Tapi penyakit yang harus segera diobati. Di mana dan apa obatnya? Mungkin anda sudah menemukannya.

12 komentar:

  1. halo pak guru.. saya sering mampir ke blog pak guru. jangan khawatir. ternyata guru banyak godaannya ya pak.. hati2 kalo gitu, biar gka kecemplung dosa. link pak guru udah sy pasang sukses salam buat muridnya..

    BalasHapus
  2. hallo mas guru ... saya prihatin dengan fenomena seperti itu. hati-hati ya sama yang itu ... yang manis itu, sedang mengincar anda biar nilainya bagus kali.

    http://kliksumberuang.blogspot.com

    BalasHapus
  3. @ Zams
    Terimakasih sarannya, Mas. Trims juga dah backlink.

    @Endros
    Hehehe...kalau itu mah dah makanan sehari-hari, Mas. Butul-butuk kudu kuat imron biar gak kayak anggota DPR yang selingkuh ma artis itu. Thanks comment-nya, mas Endro.

    BalasHapus
  4. Guru sekarang emang susah ditebak mas.
    mana banyak yg ngga tanggung jawab,
    cuma bisa NGAJAR tapi ngga bisa MENDIDIK.

    Sori ya mas... mudah-mudahan ngga tersinggung.
    Tapi saya yakin mas umar ngga gitu deh...

    BalasHapus
  5. @ Arief Maulana

    Tenang aja mas Arief, saya gak akan tersinggung ma comment pean. Mosok murid mau marah ma gurunya, hehehe...
    Btw, emang betul yang pean bilang,guru gadungan semakin marak aja.
    tapi kayaknya kok yang komen cuma prihatin aja ya. Sekali-kali kasih solusi gitu.

    BalasHapus
  6. So buat mas umar, guru itu digugu lan ditiru. Benar kan? Pokonya saya ggak ketinggalan kok ngikutin blog sampean.
    Salam, mampir ya ke blogku
    http://web-sumartono.blogspot.com
    http://golspektakuler.blogspot.com

    BalasHapus
  7. Pesan Mas : Tolong ajarkan siswanya tentang "Enterpreneur" sepertinya di sekolah sedikit tuh mateeri tentang itu.. Biar bisa kreatif seperti pak gurunya ini..

    BalasHapus
  8. @ Sumartono
    Kliru Mas, yang betul "Nek Minggu Turu" hehehe...
    terimakasih Mas, masih sempatkan mampir.

    @ Wawan Purnama
    Gagasan yang bagus Mas Wawan, setuju banget n semoga bisa saya laksanakan. mohon doanya lho!
    Btw, enterpreneur or netpreneur ya? hehehe...

    BalasHapus
  9. Guru adalah panutan bagi muridnya, guru sangat berjasa dalam hidup kita. Tetap semangat pak guru jangan berkecil hati apalagi minder dengan berbagai isu yang tidak mengenakan. Guru adalah cahaya dalam gelap gulita.

    BalasHapus
  10. Dua-duanya bagus Mas Umar..Gregetan nih sama kurikulum Pendidikan di Indonesia..

    BalasHapus
  11. Solusi...
    kembalikan lagi pada niat semula mau menjadi guru itu apa?

    Satu yg saya pelajari ketika saya akan menjadi seorang pemandu (seperti trainer) LKMM (Lat.Ket.Manajemen Mahasiswa):

    JANGAN TANYAKAN APA YG BISA ANDA TERIMA, TAPI TANYAKAN APA YG BISA ANDA BERIKAN.

    Menjadi seorang trainer / guru / pemandu adalah sebuah tugas sekaligus amanah yg akan dimintai pertanggung jawabannya kelak.

    Orang berilmu adalah tinggi derajatnya dimata Allah. Maka mereka yg memiliki ilmu memiliki amanah untuk menyampaikannya dan menaikkan pula derajat orang-orang yg dibimbingnya.


    NB : ini bukan ucapan saya, hanya mengulang kembali.

    Salam Sukses,
    BLOG MOTIVASI ARIEF - Support Your Success

    BalasHapus
  12. @ Parwanto:
    Terimakasih supportnya, Mas. lain waktu berkunjung lagi ya!

    @ Wawan Purnama:
    Hahaha...Mas Wawan geretan ya?
    sama mas! kurikulum gonta-ganti bikin guru jadi puyeng.

    @ Nah gitu dong Mas Arief. Solusinya bermanfaat banget buat kita-kita para guru. Trims dah mampir lagi.

    BalasHapus