Jumat, 27 Februari 2009

Ada Racun Dalam Program Sekolah Gratis

Cukup menarik saya membaca komentar teman-teman pada artikel kemarin. Ada yang pro dengan sekolah gratis, ada yang kontra, dan ada pula yang abu-abu alias setuju bersyarat. Ya, inilah fenomena dalam berdemokrasi di negeri ini. Buat saya itu tidaklah mengapa, justru saya senang menyimaknya asalkan masing-masing memiliki landasan yang jelas.

Pada artikel kali ini saya akan memenuhi janji saya untuk mengurai benang kusut dalam program sekolah gratis. Pemberlakuan sekolah gratis sendiri bagi bangsa Indonesia secara umum mungkin sebuah impian besar. Hmmm...tentu menyenangkan jika di pagi hari menyaksikan perempatan-perempatan lampu merah sepi dengan anak jalanan. Pasar-pasar sepi dari bujuk rayu kuli-kuli panggul ingusan. Pengamen-pengamen kecil juga tak dijumpai di jam-jam sekolah. Karena mereka semua sedang sibuk dengan aktivitas belajarnya di sekolah. Orang tua pun bisa bekerja dengan nyaman tanpa dibayang-bayangi kekhawatiran dipanggil pihak sekolah untuk ditagih uang SPP.

Sangat wajar dan manusiawi sekali memang. Siapa sih orang yang tidak senang dengan sesuatu yang gratis. Apalagi jika yang gratis tersebut adalah hal yang mendasar bagi kelangsungan hidup. Tapi akankah kita selalu berpikir sependek itu untuk menikmati madu di mulut tapi setelah ditelan ternyata terasa pahit dan esoknya membuat kita sakit. Hati-hati dengan sesuatu yang manis kawan, apalagi terlalu manis. Banyak penyakit yang akan mengikutinya setelah itu. Sekali lagi saya mengajak anda untuk berpikir objektif dan bukan untuk memprovokasi. Sudah terlalu sering bangsa ini tergeragap akibat terlalu banyak menikmati racun yang berbalut madu.

Kenapa Timor-Timur harus hengkang dari negeri ini? Kenapa Sipadan dan Ligitan juga gagal kita pertahankan? Mengapa Pula Blok Cepu harus dipersembahkan kepada bangsa lain? Belum lagi ketidakberdayaan kita yang cuma jadi penonton saja dari kerakusan bangsa lain yang berpesta pora di puncak gunung emas Papua? Apa yang membuat bangsa ini sekilas terlihat besar tapi sebenarnya keropos? Laksana kerbau yang selalu menurut setelah dicocok hidungnya. Atau anjing yang berubah jinak lantaran telah diberi tulang oleh tuannya. STOP!! Ayo hentikan cerita tentang kebodohan kita. Sudah saatnya kita menjadi semakin dewasa dan berpikir cerdas.

Racun Itu Adalah ...
Hati-hati dengan racun yang satu ini. Ia menyelinap dalam tubuh dengan sangat lembut sekali, bahkan hampir tidak pernah disadari. Menyelinap dan mengalir melalui peredaran darah, sampai ke otak dan menyalakan syaraf-syaraf. Ibarat candu, sekali ia masuk ke syaraf dan otak, maka akan sangat susah keluar dari tubuh. Hanya tekad dan kemauan luar bisa yang sanggup mengusirnya dari tubuh. Apa sesungguhnya racun itu? Racun itu adalah ”Mental Gratisan”.

Ya, Mental Gratisan adalah racun yang akan menghancurkan kita dan segala sendi kehidupan ini. Namun sayang, masih sedikit yang menyadari itu. Bahkan sepertinya semakin lestari saja setelah para politisi semakin bergairah mencekokkan mental ini kepada masyarakat. Dan gayung itu pun bersambut dengan sangat baik di benak masyarakat yang sudah hancur lebur secara ekonomi ini.

Tidak banyak orang yang sadar memang dengan hal ini. Bahkan mungkin sang politisi yang menggunakan program sekolah gratis sebagai senjata kampanye. Sekilas sekolah gratis terlihat menguntungkan bagi masyarakat banyak namun ternyata justru merugikan. Ya, merugikan karena bangsa ini belum bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Belum bisa berpikir secara cerdas. Dan mudah sekali latah dengan sesuatu yang baru, tanpa menilai dulu apakah sesuatu yang baru itu baik atau buruk.

Penyakit Akibat Sekolah Gratis
Penyakit ini memang belum terlihat sekarang. Tapi akan terlihat setelah anak didik kita selesai menunaikan sekolahnya. Hal ini memang sudah menjadi tradisi dan karena itulah sudah saya katakan sebelumnya bahwa bangsa ini gampang tergeragap/terkejut lalu menyesal di kemudian hari. Namun mulai sekarang, paling tidak kita tahu bahwa sesuatu yang gratis tidak seluruhnya benar-benar gratis. Sekarang anda boleh berkata pada diri sendiri, ketika anda memberikan ebook atau software gratis di blog anda tidak adakah maksud lain di balik itu? Ketika para caleg membagikan sembako dan kaos gratis, tidak adakah efek tersembunyi yang diharapkan di balik itu?

Jika anda menjawab ”YA” pada dua pertanyaan saya tersebut, tidaklah terlalu menjadi soal karena efek buruknya sangat minim di balik itu. Sayangnya, untuk program sekolah gratis, efek buruknya sangat banyak. Bahkan saya dapat memprediksi bukannya semakin maju bangsa ini, tetapi malah semakin bobrok dan terbelakang. Kenapa bisa begitu? Oke, perhatikan yang saya sampaikan berikut ini:

  1. Sekolah gratis akan menyebabkan bangsa ini bermental gratisan.
    Karena sudah dibiasakan dengan sesuatu yang gratis sejak dini, maka secara tidak sadar akan membentuk pola pikir masyarakat untuk selalu mengharap sesuatu yang gratis. Segala sesuatu akan dinilai baik kalau ada yang gratis. Padahal virus gratis ini jelas tidak berdampak baik bagi perekonomian bangsa. Bandingkan dengan virus beli. Dengan budaya membeli, tentu perekonomian bangsa akan berputar dengan sangat baik. Masyarakat akan semakin maju dan berkembang karena ada uang yang berputar untuk mendongkrak segala lini perekonomian masyarakat. Coba anda lihat betapa negara-negara eropa dan Cina sangat maju, karena budaya beli sangat kental terasa di sana.

  2. Sekolah gratis akan menyebabkan bangsa ini bermental pengemis.
    Terlalu sering berharap yang gratis secara tidak langsung mengubah pola pikir masyarakat menjadi pola pikir pengemis. Berharap mendapat sesuatu tanpa mau mengeluarkan biaya, bukankah itu sama saja dengan mental pengemis? Sekarang mana ada pengemis yang produktif di negeri ini. Mana ada pengemis yang sukses dan jadi miarder. Yang ada, pengemis tetaplah pengemis yang selalu terpinggirkan dalam kehidupan sosial. Apakah anda mau, kelak anak anda menjadi pengemis. Mungkin saja anak anda punya rumah tujuh lantai dan mobil berderet di garasi. Namun jika mentalnya adalah pengemis, sungguh apalah artinya semua itu. Dia akan selalu meminta, pelit bersedekah, dan tidak pernah bersyukur.
    Bukankah lebih baik memiliki mental pemberi daripada penerima. Bukankah tangan di atas selalu lebih baik daripada tangan di bawah. Namun sepertinya, mental pengemis itu sudah dapat kita rasakan saat ini, bukan begitu?

  3. Sekolah gratis akan menyebabkan bangsa ini menjadi pemalas.
    Ini mungkin klimaks dari dua penyakit sebelumnya, yaitu mental pemalas. Kebiasaan memperoleh sesuatu yang gratis tidak akan pernah merangsang kita untuk berusaha dan bersusah payah. Bukankah kita berusaha dan bekerja untuk mendapatkan uang. Dan uang tersebut tentu bukan untuk dijadikan bantal tidur tetapi kita belanjakan. Nah, kalau otak kita sudah terkena virus gratisan, buat apa lagi kita bekerja. Buat apa lagi kita cari uang, toh bisa memperoleh sesuatu yang gratis. Dan tentu, cara terburuk memperoleh yang gratis adalah dengan mengemis.

Dua Kesalahan Besar Sebelumnya
Anda mungkin tidak menyadari jika sudah terjadi dua kesalahan besar dalam sistem pendidikan di negeri ini. Dan sayangnya ini tidak pernah bisa diperbaiki entah sampai kapan.

  1. Kurikulum Pekerja (Kuli)
    Ya, kalau anda mencermati maka kurikulum yang ada sekarang mayoritas hanya menyiapkan anak didik kita sebagai kuli. Jadi setelah lulus sekolah diharapkan ia bisa segera mencari kerja dan menyandang predikat kuli, sekalipun ia memakai jas dan sepatu mengkilap.
    Sangat minim sekolah yang menyiapkan anak didiknya sebagai pengusaha (entrepreneur). Makanya tidak mengherankan jika status pegawai apalagi pegawai negeri sipil sangat terhormat dan diidam-idamkan di negeri ini daripada status pengusaha/pebisnis. Dan sekali lagi sadarkah anda bahwa mentalitas kuli yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan ini sebenarnya adalah warisan zaman kolonial Belanda yang memang menginginkan bangsa ini menjadi tenaga kerja bukan sebagai pengusaha.

  2. Jurusan IPA (Sains) Selalu Menjadi Primadona
    Jujur atau tidak sistem pendidikan kita telah menomorsatukan jurusan IPA. Di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi, jurusan sains (IPA) selalu menjadi primadona. Maka tidak mengherankan jika putra-putri kita yang kebetulan berotak cerdas berlomba ingin masuk jurusan sains tersebut. Bukan begitu?
    Nah, sekarang saya akan memberitahukan kepada anda sekali lagi bahwa fenomena tersebut adalah warisan budaya kolonial Belanda. Mereka sengaja memasukkan siswa-siswa yang cerdas tersebut ke jurusan sains agar tidak vokal mengkritisi kebijakan Belanda. Maka dibungkamlah mulut mereka dengan kesibukan sebagai tenaga-tenaga ahli (kuli) yang selalu berkutat dengan angka-angka dan hal-hal teknis. Hingga tidak ada sama sekali kesempatan untuk berpikir masalah sosial dan politik, apalagi menjadi pengusaha dan sudagar.
    Belanda takut memasukkan mereka dalam jurusan Sosial (IPS/Ekonomi) karena khawatir menjadi bumerang dan merongrong keberadaan Belanda di negeri ini. Sekarang coba anda cek, mana ada dokter atau insinyur yang terangsang untuk mencoba kritis terhadap kebijakan politik dan sosial. Padahal mereka adalah manusia-manusia yang cerdas.

Kawan, itulah dua kesalahan besar dalam sistem pendidikan kita. Dan yang diserang oleh keduanya adalah mental/mindset bangsa ini. Akankah sekarang harus dilengkapi lagi dengan program sekolah gratis ini?

Salam Istimewa!







24 komentar:

  1. Gile Pak Guru! Kritis abis!

    Ternyata banyak efek negatif dibalik sekolah Gratis ini.
    itulah kenapa mental kita terserang virus mematikan yang perlu kita basmi. saya perlu banyak belajar dari Mas Umar ini, begitu bersemangat dan antusias dalam menyikapi persoalan sosial bangsa kita.

    Maju Terus Bisnis Guru: saya perdikis 3 bulan kedepan, popularitas blog ini akan meningkat signifikan. penyebabnya, analisis yang kritis, vokal dan bersahaja.

    SALAM SUKSES = BLOG MOTIVASI MENTAL =

    BalasHapus
  2. terus terang saya lebih mendukung pada kebijakan pemberian biasiswa bagi anak-nak berprestasi... dengan demikian anak akan bersemangat untuk meraih cita-cita dengan cara positif,berpacu dengan teman-teman yang lain.

    Tapi saya juga berpendapat bahwa anak orang-orang miskin (duafa) tetap dibantu agar bisa menikmati dunia pendidikan. Mungkin perlu program khusus (saya berfikir pendidikan jangan disamakan dengan bisnis) pendidikan lebih pada upaya mencerdaskan, mengangkat harkat dan martabat anak bangsa. Jadi saya lebih pada penekanan pemberian biasiswa berupa pendidikan yang layak untuk para siswa berprestasi.

    BalasHapus
  3. Sukses Mas,

    Penjelasan yang memang penuh dengan nilai realistisnya.

    jujur saya sangat senang membaca artikel tentang pendidikan.
    maju terus pantang berhenti dan mundur.

    BalasHapus
  4. "Saya menyadari, sistem pendidikan yang ada sekarang, adalah sistem pendidikan ala Belanda yang sudah kuno. Mas tahu nggak, kenapa IPA adalah mata pelajaran yang penting di sekolah-sekolah Indonesia? Jurusan IPA adalah untuk anak-anak pandai, sementara jurusan IPS dan Bahasa adalah untuk anak-anak yang kurang cerdas. Bahkan menjadi anak jurusan IPA adalah 'wah' dikalangan orang-orang Indonesia?

    Karena sistem pendidikan lama Belanda ketika jaman penjajahan dulu, menjadikannya seperti itu!!!

    Di Jepang dan di negara-negara maju lain, murid-murid dengan IQ di atas rata-rata, di sarankan mengikuti kelas Bahasa atau IPS (sosial). Sementara di Indonesia, yang menganut sisem pendidikan lama Belanda, anak-anak dengan IQ diatas rata-rata, disarankan ke kelas IPA, kenapa bisa berbeda?

    Tujuannya Belanda waktu itu adalah, agar orang-orang ber-IQ tinggi tak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Mereka dididik untuk menjadi dokter, guru, perawat, pokoknya jabatan yang tak membahayakan kedudukan penguasa pada waktu itu. Makanya, mereka ditaruh di kelas IPA. Sementara, yang kurang pandai, ditaruh di kelas Bahasa atau IPS.

    Lain di Jepang atau di Amerika (apalagi di China). Anak-anak ber-IQ tinggi dididik untuk menjadi merchant atau politik. Dididik untuk berbisnis, dididik untuk mandiri. Dididik untuk tidak bergantung pada orang lain dan tidak mencari pekerjaan seperti yang banyak dilakukan orang Indonesia kebanyakan hingga Indonesia penuh dengan pengangguran. Mereka dididk untuk menjadi mandiri dengan menciptakan lapangan kerja!

    Itulah kesalahan Indonesia! Kurang banyak yang mau belajar sejarah karena sejarah adalah IPS, sehingga hal krusial seperti itu tak banyak yang tak tahu.... Makanya, mas saya minta menarik pernyataan bahwa pebisnis itu matanya ijo. Okay lah, mereka mencari uang. Tapi, disamping demi diri mereka sendiri, bisnis itu menyejahterakan orang banyak. Pekerjaan di dunia ini, yang menghasilkan keuntungan terbanyak adalah berdagang. Apapun yang didagangkan, entah jasa, barang, atau apapun. Pokoknya, berdagang adalah hal paling menguntungkan dan yang paling bisa membangun dunia lebih cepat.

    Bisnis memicu persaingan, dan itu alasan kenapa sekarang ada komputer, ada mobil dengan model bagus-bagus, ada rumah-rumah dengan desain-desain indah. Dan lain-lain yang tak bisa saya sebutkan di sini. Rasul sendiri, mencontohkan berdagang. Ia jadi sangat kaya di usia 25 tahun karena berdagang (berbisnis). Jadi, selama kita pakai hati dan jujur dalam berbisnis, saya rasa itu bukan hal yang salah. "

    Kutipan di atas adalah kutipan dari Alam*Pintar yang kebetulan topiknya sesuai. Semoga bisa melengkapi post dari mas.. heuheuheue........

    Hidup bisnis!!! Hidup Sosial!!!

    Salam Pintar!

    BalasHapus
  5. Tiada kata lain yang bisa saya ucapkan lagi tentang artikel ini keculi, TOP ABISS!!

    Ternyata PR mengenai pendidikan kita diselesaikan juga nih Mas...

    Saya sangat setuju sekali dengan point "No.1 Kurikulum Pekerja ( KULI )"
    Harusnya ada mapel tentang RICH DAD POOR DAD By: Robert T Kiyosaki

    Salam Hangat.

    Visit :

    GUDANG EBOOK DAN AFILIASI GRATIS !!!

    BalasHapus
  6. Mas Umar saya jadi punya pertanyaan nih, "Sebenarnya para pemimpin kita saat mengeluarkan kebijaksanaan sekolah gratis, melakukan studi banding dulu tidak sih dengan negara yang sudah lebih dulu menerapkan kebijaksanaan ini?"

    Menurut saya ini penting, karena jadi tahu akan kelebihan dan kelemahannya. Sehingga akan didapat bagaimana sistem pendidikan yang tepat di negeri kita ini. Khususnya dalam menciptakan generasi muda yang siap bersaing dengan negara lain dan mengharamkan segala bentuk korupsi dengan segala bentuk-bentuknya.

    BalasHapus
  7. Artikelnya Sangat Istimewa Mas,
    Setelah membaca artikel diatas dan berdasarkan komentar rekan 2, saya jadi prihatin dan sedih apa yg dialami bangsa kita saat ini, membaca judulnya saja saya sudah merinding " Ada Racun Dalam Program Sekolah Gratis " kita tahu racun bisa membunuh dalam sekejab.
    Ternyata Program Sekolah gratis juga ada racunnya, bukannya Wanita Racun Dunia kata changcuters hehehe.

    Sebenarnya Program gratis dan beasiswa boleh2 saja tapi sasarannya kepada murid2 yg benar 2 tidak mampu dan yg berprestasi ini perlu digaris bawahi, jangan sampai salah sasaran seperti yang pernah mas contohkan, Apa kata Dunia.

    Melihat kondisi saat ini lantas kita hanya diam, kini saatnya tugas Generasi muda untuk memperbaiki segala kekurangan dan kesalahan yg terjadi.
    sebentar lagi pesta Demokrasi akan dilaksanakan, pilihlah pemimpim yg bisa merubah khususnya sistem pendidikan yang lebih baik.

    Sukses untuk bisnis guru

    BalasHapus
  8. Klo membahas tentang kebobrokan bangsa ini memang tidak ada habis-habisnya. Saya memang tak setuju dengan mental gratisan, namun juga harus realistis bahwa sekolah gratis itu sangat membantu anak-anak yang kurang mampu untuk melanjutkan sekolah. Metode dan caranya mungkin perlu melihat dari negara maju. Karena sangat mungkin orang2 pinter dan berkualitas terlahir dari golongan terpinggirkan. Who knows..? Blog Bisnis Online

    BalasHapus
  9. Mas Umar, memang harus kita akui bahwa sekolah gratis seperti yang sampeyan tulis bisa berakibat seperti itu. Namun perlu juga kita pahami bahwa sekolah gratis untuk tingkatan tertentu seperti pendidikan dasar dan juga untuk sebagian masyarakat kita juga diperlukan, karena memang patut diakui ada sebagian masyarakat yang tidak sanggup untuk menyekolahkan anaknya karena keterbatasan biaya dan yang bersangkutan prestasinya bagus. Kalau tidak dibuat program seperti ini kita juga ikut berdosa karena membiarkan tunas bangsa itu tidak bisa memperoleh pendidikan yang layak. Sebaliknya saya juga mengkritisi para elit politik dan penguasa yang memanfaatkan isu sekolah gratis dengan tidak bertanggunggjawab bukan dengan maksud untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita tetapi untuk kepentingan mereka sendiri mengejar popularitas dan kepentingan politik sesaat. Seharusnya kita harus menyiapkan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan penyadaran tentang sekolah gartis itu, ini tanggung jawab pemerintah mensosialisasikannya kepada masyarakat. Saya yakin dengan cara ini bisa mengurangi ekses negatif "Sekolah Gratis". Maaf mas Umar, ini sekedar sebagai curah pendapat dan sumbang saran saya. Makasih Mas Umar.
    ================
    Salam sukses.

    BalasHapus
  10. @ Fadly Muin
    Itu hanya analisis sederhana saja kok Mas Fadly. Dan saya yakin semua orang tahu kok hal ini, cuma belum niat aja untuk mengungkapnya.

    Namun begitu, tentu masih ada yang kurang di sana-sini. Untuk itu saya mohon maaf bila kurang berkenan di hati. Oya, terimakasih juga Mas Fadly atas supportnya untuk BISNIS GURU.
    Perhatian dan partisipasi Mas fadly di Blog ini punya arti tersendiri, pastinya.

    @ Endro Sunoto
    Sayangnya, itulah realitanya mas Endro. Program sekolah gratis hanya dijadikan sepagai dagangan politik oknum tertentu untuk memperoleh simpati masyarakat.

    pada dasarnya, pembebasan biaya pendidikan bagi siswa itu baik. Dan saya juga setuju. Hanya saja perlu dimanage secara profesional dan proporsional, itu saja. So, beasiswa mungkin bisa sebagai solusi.
    Namun, berdasarkan cerita Mas Arief, toh beasiswa juga sekarang banyak yang diselewengkan. Next, apa donk strateginya?

    @ Dadang Firdaos
    Modalnya cuma satu saja pada konteks artikel ini Mas! yaitu semangat untuk berbagi. Masalah itu bermanfaat atau tidak, sangat subjektif sekali. Jadi, terimakasih untuk mas Dadang yang selalu mensupport artikel-artikel di BISNIS GURU.

    Salam sukses juga untuk Blog Rekan Bisnis

    @ Syamsul Alam
    Wah, empat jempol deh untuk sobatku satu ini

    Ente emang butul-butul pintar Lam, heheh...

    Makasih ya pren tambahan tulisannya, semakin lengkap deh artikel ini. Salam pintar!

    @ Handoko Tantra
    Hehehehe...Mas Tantra ini bisa saja. Terimakasih Mas, supportnya.

    Oke deh, doakan saja saya kelak jadi Mendiknas agar mapel tentang RICH DAD POOR DAD By: Robert T Kiyosaki segera bisa mauk kurikulum.

    Supaya bangsa kita gak bermental kuli lagi.

    @ Sumartono
    Untuk studi banding sih sudah berulang kali Mas!
    anggaran untuk itu juga luar biasa banyak. Hanya saja, untuk menerapkan hasil studi bandingnya itu saja yang males, hehehe...

    Niat studi banding kan gak cuma satu, Mas!

    @ Mr.Mung
    Apanya?

    @ Iwan Epianto
    Benar dan sepakat sekali dengan apa yang anda sampaikan Mas Iwan.
    Memang begitulah seharusnya!
    Ayo rekan-rekan semua! saatnya kita pilih pemimpin yang pro rakyat dan berkualitas! hehehe...sory bukan kampanye lho!

    @ Zamahsari
    Oke Mas Zam, saya juga sependapat dengan sampean...
    Intinya perlu dimanage dengan baik saja agar tepat sasaran dan tidak menimbulkan efek samping apalagi efek belakang.

    @ Sugiana
    Oke Mas Sugi, saya sangat mengerti dengan hal itu. Masa depan bangsa adalah tanggung jawab kita juga. Atas dasar itu jugalah maka dibutkan program sekolah gratis. Hanya saja kiranya perlu didudukkan pada konteks yang benar. Ini sebagaimana kalimat anda yang ini:

    Seharusnya kita menyiapkan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan penyadaran tentang sekolah gratis itu, ini tanggung jawab pemerintah mensosialisasikannya kepada masyarakat.

    Mudah-mudahan artkel ini bisa memenuhi harapan anda tersebut.


    Salam Istimewa!

    BalasHapus
  11. 4 Kata = Gue Suka Gaya Loe

    Artikel ini bagus sekali mengupas salah satu faktor berkembangnya mental gratisan di indonesia yang boleh dikatakan bukan suatu hal yang baik. Paling tidak ini bisa menampar rekan-rekan pebisnis online yg senengane gratisan melulu.

    Dan 2 kesalahan besar dalam pendidikan, Anda menguraikannya dengan tepat sekali mas, karena itulah yang saya rasakan saat ini.

    Terima kasih untuk artikelnya, Pak Guru emang selalu bisa memberikan manfaat yang baik buat kita-kita muridnya.

    Salam Sukses,

    BLOG MOTIVASI ARIEF - Support Your Success for a Better Life

    BalasHapus
  12. Dear mas Guru,
    Sangat menohok hati dan fikiran, fenomena sekolah gratis, buat saya hanyalah sebuah kalimat usang pedagang kaki lima di pinggiran jakarta, isu sekolah grtis, hanyalah bualan para caleg yang lagi berebutan kursi basah karena air kencing pendahulu mereka, semua hasil yang kita alami sekarang adalah warisan tikus tikus berdasi yang ada di gedung pencakar langit di pusat kota jakarta, realita kadang ga sesuai dengan impian itu sudah jamak di indonesia, lebih tepatnya kalau saya bilang negara ini sudah di gadaikan, tinggal kita kita ini warganya segera bangun dari buaian mimpi dan janji untuk segera berbenah minim, berbenah diri sendiri.
    Salam luar biasa mas Guru

    BalasHapus
  13. Semuanya berawal dari kita sendiri Mas.. Menurut saya bila mental kita dan keluarga kita selalu berusaha dididik untuk tidak tergantung pada orang lain, akan muncul kekuatan yang dapat mendorong kita untuk selalu berusaha dengan maksimal tentunya untuk kesejahteraan kita dan bila ada lebih :-) bisa berbagi dengan orang lain ... dengan ini diharapkan pembodohan Masyarakat dapat dikurangi atau mungkin dapat dihilangkan ... ini adalah PR bagi kita semua ...

    Salam,
    Teten

    BalasHapus
  14. Sebuah dilema ya mas, kita harus mengakui bahwa kerusakan mental bangsa ini ternyata sudah mendarah daging sampai ke sendi" :). Yap begitulah fenomena yang ada, dan sekaranglah tantangan bagi kita generasi muda untuk dapat merubah tradisi itu agar kelak anak cucu kita dapat merasakan kebebasan untuk berkreasi dengan kemampuannya sendiri tanpa ketergantungan oleh pemerintah atau pihak asing. Untuk masalah kebijakan, saya kurang tertarik mengomentari terlalu jauh masalah kebijakan pemerintah tersebut karena sudah terlalu banyak orang pintar yang terlibat untuk menyusun kebijakan tersebut sampai bisa disah kan. Bukankah lebih baik kita berkaca dan mencoba untuk mulai merubah mental itu dari diri kita dulu :)
    Artikel yang menartik mas umar.

    -salam istimewa juga-

    BalasHapus
  15. @ Arief Maulana
    Hahaha...Mas Arief ini ada-ada saja. Yang jadi murid itu lho siapa. Justru saya yang masih harus banyak belajar dari Mas Arief.

    Artikel ini juga terisnpirasi dari banyaknya kawan-kawan kita yang maniak barang gratis, Mas!

    Namun begitu, bukan maksud saya untuk menyarankan menolak barang gratis. Kalau misalnya anda diberi barang gratis (disediakan) ya diterima saja.

    Yang harus dijauhi adalah, terlalu berharap memperoleh sesuatu secara gratis. Bahkah sesuatu yang seharusnya bayar pun masih ditawar/ditunggu sampai menjadi gratis.

    @ Muklis
    Hmmmm... berapi-api sekali komentarnya Mas Muklis, hehehe...
    Ada apa nih, kok sampai segitunya Mas?
    Btw, separah apa pun kebijakan di negeri ini tetaplah menjadi tanggung jawab kita juga untuk berpartisipasi memperbaikinya.
    Mari kita bergandeng tangan untuk menghasilkan karya terbaik di negeri ini. Negeri Indonesia tercinta.

    @ Teten W.
    Betul sekali Mas Teten. Lingkungan keluarga juga memiliki peran fundamental dalam pembentukan mental/mindset generasi penerus bangsa.
    Mari kita mulai merubah semua ini dimulai dari diri kita sendiri, lalu orang-orang di sekeliling kita.

    @ Ricky Nova
    Ya, memang fenomena yang dilematis sekali Mas Ricky. Untuk itulah diperlukan sikap profesional dan proporsional dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Banyak sekali kebijakan pemerintah yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Namun juga ada beberapa yang masih perlu dikoreksi ulang.
    Tentu bukan hal yang bijaksana juga jika kita bersikap apriori terhadap semua itu. Karena bagaimanapun juga, masa depan anak-anak kita sedang terancam.
    Jika kita masih sayang kepada mereka, ayo...
    kita rapatkan barisan tuk memperbaiki kesalahan yang ada. Sekali lagi demi anak cucu kita.

    Salam Istimewa!

    BalasHapus
  16. semakin bolong.... pandangan saya.... artinya semakin mudeng dengan masalah ini... saya jadi semakin merasa tidak bersalah kalau sertifikat Akta IV yang saya dapatkan, hanya terpajang di document keeper.
    Walau kecil-kecilan saya lebih senang rekan-rekan saya satu kampung, membuat sebuah perkumpulan dalam bisnis jasa. Saya juga salut dengan mereka(rekan2 sekampung), meski mereka juga tidak jauh berbeda dengan saya, mengantongi sertifikat Akta IV, tapi mereka sangat bersemangat dalam usaha bersama ini. Padahal kami mendirikan juga tidak disertai syarat harus memiliki ijazah S1 lho,
    Hanya saja ..... budaya kolonial yang masih terbawa memang ada, yaitu kami belum berani untuk terlalu vokal. yaaaahhhh... masih tetap saja seperti terjajah yaaa....

    BalasHapus
  17. Gratis boleh saja.. saya mencoba memandang dari dua sisi mas.. tapi untuk pernyataan pa guru tentang "...Jujur atau tidak sistem pendidikan kita telah menomorsatukan jurusan IPA..." saya tidak setuju. Di perguruan tinggi tempat saya mengajar Fakultas Ilmu Komunikasi mendapat prioritas dan menjadi jadi Primadona.
    Hal ini bertanda sekarang sudah ada pergeseran paradigma mas. Dulu masa kurikulum orde baru memang seperti itu. bahkan SMA dengan jurusan A1 dan A2 boleh mencaplok jatah UMPTN anak sosial. Sekarang, IPS Boleh ambil Fakultas Kedokteran dengan catatan dia mampu. Dan ini sudah terbukti ada mahasiswa kedokteran yang masuk dari jalur SPMB sosial..
    Untuk Gratisan kita juga harus melihat dari segi yang lain. Misalnya, Dikdas di Indonesia terjadi GAP yang sangat tinggi mas. Sebenarnya Indonesia mampu memberikan fasilitas sekolah gratis. Tapi hingga saat ini, apa yang terjadi dari sekolah Gratis? Untuk pak guru, coba lihat juga dari sudut pandang dari dua sisi.
    Saya setuju, mental gratisan akan menjadikan anak indonesia jadi mental meminta terus karena biasa gratis. Mungkin bentuknya ya yang harus di rubah. Saya lebih setuju Program Bea Siswa bagi siswa berprestasi dan/atau siswa kurang mampu.
    Kontek "Bayar setengah ingin full" seperti yang di ungkapkan pa mario teguh itu bagus. Tapi dalam konteks ini, harus dilihat juga keterkaitannya. Link and match, mungkin itu yang bisa saya sampaikan. Gratis tidak selalu berdampak baik. Yang saya heran juga mas, kemana ya selama ini dana BOSS... jalan ga ya.. kalau di perguruan tinggi kan ada PHK-I, hibah berdasarkan kompetensinya. jadi Prodi yang unggul tapi kurang fasilitas di support...
    wah kepanjangan neeh komen... maaf neeh mas.... salut untuk pak guru kita ini...

    BalasHapus
  18. Mental sangat fundamental terhadap perkembangan diri dan bangsa ini. Tinggal mental seperti apa yang mau kita kembangkan, seperti itu juga yang akan dituai.
    Keep ACTION!

    BalasHapus
  19. kedengarannya kurang bagus, sekolah adalah tempat untuk mendidik siswa, memperbaiki mental siswa, jika tahu ada yang salah pada peserta didik tugas pendidiklah untuk memperbaiki. ada sekolah gratis itu adalah niat tulus pemerintah agar semua bisa sama mengenyam wajib belajar. satu lagi pendidikan diselenggarakan harus menjamin mutu lulusannya. sehingga lulusannya bisa mencari pekerjaan atau menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. jangan hanya ngomong anda sendiri apa bisa tidak bergantung pada gaji anda sebagai pns? mental burukkah itu? paling akan protes meminta mana peduli pemerintah terhadap kesejahteraan guru, pasti.

    BalasHapus
  20. salah satu kelemahan bangsa kita adalah hanya hebat mengkritik yang destruktif, bukan konstruktif. artinya hanya mengkritik untuk merubuhkan sistem yang telah ada bukan untuk membangun dan mengembangkannya. Indonesia tidak akan pernah maju, jika semua guru hanya bisa mengkritik tanpa melakukan apa2. Pertanyaan saya, apa guna anda mengkritik sekolah gratis tanpa memberikan solusi? Apa lagi yang harus dilakukan pemerintah jika program sekolah gratis diluncurkan, sudah mau diruntuhkan oleh anda?
    Ketiga, mungkin anda berpendapat bahwa sekolah gratis kurang baik karena berada pada ekonomi kelas menengah ke atas, bagaimana jika anda berada pada golongan tidak mampu yang sangat memerlukan biaya pendidikan? terimakasih..

    BalasHapus
  21. betul banget mas.. bangsa kita sudah terdoktrin / disesatkan oleh bangsa belanda sejak jaman penjajahan dan secara tidak langsung sudah jadi budaya masyarakat kita sekarang.. salut mas anda jeli sekali melihat permasalahan:)
    salam sukses

    BalasHapus
  22. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Sri Rahayu asal Surakarta, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil di daerah surakarta, dan disini daerah tempat mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat Jl. Letjen Sutoyo No. 12 Jakarta Timur karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-1144-2258 atas nama Drs Muh Tauhid SH.MSI beliaulah yang selama ini membantu perjalanan karir saya menjadi PEGAWAI NEGERI SIPIL, alhamdulillah berkat bantuan bapak Drs Muh Tauhid SH.MSI SK saya dan 2 teman saya tahun ini sudah keluar, bagi anda yang ingin seperti saya silahkan hubungi bapak Drs Muh Tauhid SH.MSI, siapa tau beliau bisa membantu anda

    BalasHapus