Jumat, 06 Maret 2009

Mengajar Di Bawah Intaian Dua Belati


Bayangkan anda adalah sebutir telur yang bertengger di ujung tanduk. Anda harus bekerja keras menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset jatuh. Terpeleset sedikit saja maka tamatlah riwayat anda. Anda bisa pecah dan hancur berantakan.

Bayangkan, diri anda adalah pejuang-pejuang kemerdekaan negeri ini. Anda menjadi tawanan dan dipekerjakan secara paksa oleh penjajah. Anda terpaksa harus bekerja RODI demi kepentingan para kolonial. Dan setiap kesalahan yang anda lakukan, lecutan-lecutan cemeti siap menggores kulit anda.

Bayangkan anda adalah warga korban perang. Tidak ada nyanyian merdu yang bisa anda nikmati selain dentuman meriam. Tidak ada udara segar yang bisa anda hirup selain gas amoniak dan karbondioksida yang semakin menyesakkan paru-paru. Bahkan khusyuknya sujud anda masih berada di bawah bayangan moncong senapan yang sewaktu-waktu siap meledakkan kepala anda.

Dan kali ini, bayangkan anda adalah seorang guru. Lokasi mengajar anda di pelosok negeri ini. Hari-hari mengajar anda diliputi suasana mencekam. Tidak ada pilihan untuk anda selain tetap mengajar dibawah bayang-bayang kematian. Ya, anda harus tetap mengajar, sedang di samping luar kanan dan kiri kelas anda puluhan moncong tombak, belati, dan parang siap menodong ke arah anda.

Sebuah fakta tentang kondisi guru pedalaman akan saya ungkap di sini. Hanya untuk anda, para pecinta BISNIS GURU semuanya.

Susahnya Mengubah Pola Pikir Primitif
Ini adalah kisah nyata yang terjadi di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri(SMPN) di daerah saya. Kisah ini sebenarnya bukanlah kisah saya, karena kebetulan saya tidak mengajar di SMP tersebut. Ini adalah kisah teman saya yang memang menjadi guru di sana.

Menjadi guru di pelosok apalagi di luar Jawa ternyata tidak semudah mengajar di perkotaan. Mengajar di daerah terpencil dengan masyarakat yang rata-rata masih mengandalkan (maaf) logika primitif membutuhkan kesiapan ekstra. Baik itu kesiapan fisik maupun mental. Bila tidak siap, salah-salah bisa fatal akibatnya. Nyawa bisa melayang percuma kalau sampai kita terpancing untuk meladeninya.

Betapa tidak, masyarakat primitif adalah masyarakat yang acuh tak acuh (apriori) dengan pendidikan. Mereka lebih suka anak-anaknya bekerja membantu orangtuanya di ladang/kebun daripada membiarkannya sekolah. Sekolah dianggap tidak penting dan membuang waktu saja.

Parahnya lagi, mereka rata-rata temperamental dan senang adu otot. Apalagi jika menyangkut dengan kelompok/sukunya. Mereka berani berbuat apapun demi menjaga kredibilitas sukunya. Makanya tidak heran jika seringkali terjadi perkelahian antarsuku di daerah saya. Padahal bila ditelisik lebih jauh, permasalahan yang memicu perkelahian tersebut sangatlah sederhana. Misalnya, rebutan pacar, saling mengejek antarpemuda, pemalakan anak sekolah, dan lain sebagainya.

Efek dari sifat temperamental dan logika primitif itu pun tak pelak terbawa-bawa juga ke lingkungan sekolah. Khususnya di salah satu SMP Negeri yang ada di situ. Kebetulan memang mayoritas siswa yang bersekolah di situ adalah masyarakat suku asli. Sebetulnya ada tiga suku yang bersekolah di situ, namun hanya dua suku saja yang sering membuat ulah. Namanya anak sekolah, ulah apa saja bisa dilakukan untuk memancing kemarahan guru-gurunya. Namun mau marah bagaimana jika setiap tindakan guru yang dianggap merugikan oleh siswa, justru menjadi bumerang.

Contohnya begini, misalnya saya sedang asyik-asyik mengajar pada jam pertama, tiba tiba dari luar datang segerombolan anak yang biasa terlambat. Bukannya mengetuk pintu dulu dengan sopan, tapi BRAAK! daun pintu terbentur tubuh dengan keras dari luar. Naluri seorang guru tentu akan menegurnya agar bisa lebih sopan untuk masuk kelas. Namun apa reaksi mereka? malah nyelonong saja menuju bangkunya tanpa menghiraukan lagi ucapan saya. Dipanggil pun mereka tak mendengarkan.

Contoh di atas adalah salah satu saja dari sederet cerita tidak menyenangkan di sekolah itu. Intinya, kondisi siswa memang sudah rusak parah. Ketertiban dan ketaatan pada aturan sudah tidak ada lagi. Apalagi kesopanan kepada guru. Nasehat dan peringatan dari para guru sudah tak dihiraukan lagi. Dan para guru pun tidak bisa berbuat banyak melihat perilaku siswa seperti itu. Dalam hati anda pasti bertanya-tanya kenapa bisa seperti itu? Apa penyebabnya? Kenapa gurunya tidak bertindak tegas saja?

Oke, menangani siswa seperti itu tidak terlalu mudah, kawan. Apalagi beberapa guru termasuk kepala sekolahnya adalah bagian dari siswa tersebut. Maksud saya, sebagian guru dan kepala sekolah adalah satu suku dengan siswanya, sehingga yang terjadi adalah :

  • Hal seperti itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Ini karena nilai kesopanan pada masing-masing suku di Indonesia berbeda-beda.
  • Pemberian sanksi tegas, justru dianggap sebagai sikap penantangan oleh siswa. Ini bisa berakibat guru dihadang dan dikeroyok oleh siswa sepulang sekolah.
  • Bila ada dua anak dari dua suku bertengkar lalu kita lerai apalagi keputusan kita terkesan memihak pada salah satunya, maka mereka bisa mengerahkan warga sukunya untuk berkelahi.
  • Dan repotnya, siswa selalu membuat ulah untuk memancing reaksi guru. Ini sangat dilematis, karena bila diladeni nyawa kita terancam, bisa perang antarsuku, dll tapi jika tidak diladeni persepsi siswa terhadap guru bisa sangat jelek, “Ah…guruku aja gak berani kok, sama aku”.

Begitulah kawan, gambaran guru yang mengajar di pelosok. Penuh tragedi dan keprihatinan. Bagaimana pun adanya, siswa tetaplah siswa, mereka adalah pengelola peradaban negeri ini selanjutnya. Maka, harapan untuk berubah menjadi lebih baik tetaplah ada dan itu dibutuhkan perjuangan luar biasa. Sekedar menambahi, berulang kali polisi terjun ke sekolah tersebut untuk mengendalikan massa, namun selalu berulang dan berulang lagi. Entah sampai kapan, yang pasti perjuangan mencerdaskan bangsa ini belum berakhir.


Salam Istimewa!






20 komentar:

  1. Memang seperti itulah salah satu gambaran suku2 yang ada di negeri kita....
    memang sangat ironis...dan tentunya diperlukan sebuah kesabaran yang tinggi yang semangat yg berlebih untuk menghadapi itu semua.

    Salam untuk para guru, semoga tetap bersabar dan semangat...

    BalasHapus
  2. Hmmm met malam mas Guru, di jakarta parah mas hampir tiap seminggu sekali ada aja tawuran, mulai dr smp, sma ampe anak kuliahan, bro di biayai untuk sekolah kok malah mo jadi jagoan weleh...

    BalasHapus
  3. Disinilah pentingnya pendidikan agama yang mengajarkan bagaimana berakhlak mulia. Namun sayangnya pendidikan agama akan efektif jika yang mengajarkan adalah para orang tua yang juga berakhlak mulia. Saya juga punya sedikit cerita dari seorang kawan yang berada di salah satu kabupaten di pedalaman kalimantan timur. Katanya di sana siswa kadang-kadang tidak masuk kelas karena perintah gurunya. Mau tahu alasannya ? Ternyata mereka mendapat tugas untuk membantu sang guru menggarap ladang miliknya alias dikaryakan. Hem.....

    BalasHapus
  4. inilah salah satu tugas berat seorang guru pendidikan kewarganegaraan.

    ilmu yang disampaikan kepada murid, harus langsung dapat di implementasikan. karena dengan seperti itu perubahan sedikit demi sedikit pasti akan terjadi.

    mementingkan golongan demi kejayaan egoisme itu merupakan hal yang harus mendapatkan bimbingan secara continyuitas.

    pemahaman kebersamaan bukan berarti hanya untuk golongan suku atau ras, melainkan untuk menegakkan ketentraman dan kehidupan yang layak dalam kehidupan bermasyarakat.

    maju terus guruku

    BalasHapus
  5. Memang pengajaran dari guru penting. Tapi tidak lebih penting dari pendidikkan yang diberikan oleh orang tua. Mungkin dengan terjadinya kasus seperti itu, atau seringya malah, sudah waktunya dibutuhkan juga pendidikkan untuk orang tua yang masih menganut pemahaman konvensional atau tradisional.
    Mungkin dengan sering diadakan pertemuan antara guru dan orang tua murid, atau kunjungan tak resmi atau semacam blogwalking lah, untuk membina keakraban guru dan orang tua murid. Dengan begitu sedikit demi sedikit pengertian akan tertanam ke dalam pribadi orang tua murid.
    Bukan sedang menyalahkan profesi guru, kebanyakan oknum guru hanya mementingkan pekerjaan formalnya sebagai guru dibandingkan sosialisasinya dengan masyarakat setempat, terutama orang tua murid.

    BalasHapus
  6. hmm.. saya sedikitnya bisa memahami perasa'an para guru jika meghadapi situasi seperti itu, perihatin memang dengan pola pikiran masyarakat yang belum sepenunya berpikir maju.

    Perlu kebijaksana'an yang sangat luar biasa dari para guru kita dalam menjalankan tugasnya.

    Jika mas umar berkenan, tolong sampaikan salam hangat saya untuk para guru yg telah mengabdikan pikiran dan tenaganya demi kemajuan bangsa dan negara ini.

    BalasHapus
  7. Selamat Pagi Pak Guru artikel yang sangat istimewa, saya jadi terharu membacanya, begitu berat tanggung jawab dan perjuangan guru. Peran Guru sebagai contoh bagi anak.
    Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh baginya.
    Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, Bangsa dan Negara.
    Karena nilai nilai dasar Negara dan Bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.

    Terima kasih Mas Umar, salam sukses dan maju terus busnisguru.

    BalasHapus
  8. membaca postingan pak guru ini, teringat akan paman saya, beliau juga adalah seorang guru disalah satu smp ditempat tinggalnya, memang keadaannya boleh dibilang masih pelosok, kebanyakan yang tinggal adalah suku dayak,,hingga suatua hari dia menghukum salah satu muridnya, dan orang tuanya gak terima dan mengancam akan membakar sekolah tersebut.

    memang memilih profesi guru kita harus siap untuk bersabar, tidak jarang kita mendengar di TV banyak para guru yang memarahi muridnya dengan berlebihan..

    semoga mas umar, selalu bersabar menghadapi murid2nya..

    sukses selalu mas

    BalasHapus
  9. Gambaran yang dilukiskan mas Umar memang dilematis. Dan bagaimana bisa optimal dalam mengajar dan mendidik kalu siswanya tidak punya rasa hormat pada gurunya. Dan saya kira itu butuh pengrbanan yang luar biasa untuk tetap bertahan.

    BalasHapus
  10. @ Agung Jatnika
    Benar Mas Agung. Mudah-mudahan kesabaran guru-guru kita tak terbatas. Dengan begitu mereka masih bisa berpikir rasional untuk melanjutkan tugas besarnya mencerdaskan bangsa.

    @ Muklis
    Lalu, apa yang bisa kita lakukan, Mas Muklis? Akankah hanya berperan sebagai penonton saja atau ada yang lain? Bagaimana jika di antara mereka adalah anak-anak kita?

    @ Widjaksana
    Saya sepakat sekali dengan argumen anda mengenai pendidikan agama. Ketika pelajaran PPKN sudah mulai terkikis dari kurikulum, tinggal satu modal pelajar kita untuk memfilter informasi dan membentengi diri dari amoral, yaitu pendidikan agama.

    Dan benar juga yang anda kemukakan, pendidikan agama yang diperoleh dari sekolah dengan durasi 2x45 menit per minggu tentu sangat jauh dari harapan untuk mampu merubah perilaku siswa menjadi lebih baik. Dan bila sudah begini peran pendidikan keluargalah yang bisa membackup-nya.

    @ Dadang Firdaos
    Sepakat Mas Dadang tentang kontinuitas dalam pendidikan akhlak dan moral siswa. Sebagaimana kita ketahui bahwa kondisi hati manusia mudah labil, untuk itu kontinuitas itulah yang penting agar semangat perubahan lebih baik benar-benar bisa terwujud.

    Namun saya kurang sependapat dengan penitikberatan beban pendidikan moral hanya kepada Guru Kewarganegaraan. Seharusnya semua pihak (Guru, Aparat, alim ulama, dan masyarakat) ikut mengatrol dan mengontrol menuju perubahan paradigma yang positif.

    @ Madhysta
    Analisis anda saya sepakat Mas Madi. Fakta di lapangan memang begitulah adanya. Komunikasi yang minim antara pihak sekolah dan orang tua siswa menjadikan gap antara keduanya semakin lebar. Akhirnya muncullah kecurigaan-kecurigaan dan tindakan-tindakan yang terkadang tidak rasional dan terkesan emosional.

    @ Irwan M. Santika
    Terimakasih atas perhatian dan rasa simpati Mas Irwan untuk guru-guru di daerah pelosok. Itulah kondisi riil yang terjadi di daerah yang mungkin selama ini kurang terpantau oleh Depdiknas.

    Insya Allah, salam hangat dari Mas Irwan akan saya sampaikan. Terimakasih sekali lagi, Mas.

    @ Iwan Epianto
    Doakan kami untuk bisa mengemban amanah mulia ini dengan baik, Mas! Ini memang bukan tugas yang ringan karena pertanggungjawabannya dunia akhirat, namun begitu kami tidak akan menyerah atau menyurutkan langkah untuk selalu memberi yang terbaik bagi anak bangsa ini walaupun yang kami terima terkadang tidak sebanding dengan itu.

    @ Yanuar
    Terimakasih atas doanya Mas Yanuar. Memang pada kondisi yang sudah sedemikian parah seperti itu hanya kesabaran para gurulah yang diharapkan bisa menetralisir keadaan. Karena seperti saya paparkan di atas, jika kita tergoda untuk mereaksinya maka justru dapat memperunyam masalah.

    @ Zamahsari
    Benar sekali Mas Zam. Sangat dilematis dan mengkhawatirkan. Tapi bagaimanapun juga kami tetap berharap ada hidayah yang terpancar pada masyarakat ini. Kasian mereka, dunia sudah sedemikian majunya. Pola peradaban manusia juga semakin moderen, namun mereka masih saja tertinggal.

    Salam Istimewa!

    BalasHapus
  11. Memang begitu kenyataan yang terjadi di negeri tercinta ini. Tetapi saya percaya saat masih kuliah dulu, Mas Umar dan rekan-rekan guru yang lain sudah dibekali mental yang kuat. Sehingga sudah siap saat ditugaskan di daerah paling terpencilpun di Indonesia.

    Salam sukses buat "pahlawan tanpa tanda jasa"

    BalasHapus
  12. Saya prihatin juga dengan kondisi diatas tersebut mas. Bagaimana mungkin seorang guru yang seharusnya kita segani tapi menjadi tidak punya harga diri apabila terbentur oleh masalah adat.

    Seharusnya dari pihak pemerintah memberikan penyuluhan sosial tentang pendidikan agar mereka bisa memahami apa arti pendidikan dan pengajaran supaya mereka menjadi lebih terangkat harkat dan martabatnya yang pada akhirnya bisa menghilangkan istilah masyarakat "Primitif"

    Semua hal tersebut tentu harus didukung oleh semua elemen baik pemerintah, para guru serta masyarakat itu sendiri agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan.

    PR lagi nih pak guru..?

    Salam Sukses

    BalasHapus
  13. SANGAT DILEMATIS!!

    ingin menerapkan system pendidikan dengan tegas,namun mengalami pertentangan dari aspek budaya. yang notabene, bersekolah dengan maksud melakukan perubahan dan pembenahan nilai2 yg semestinya diperbaiki. ini kok malah di tentang.

    Jika kondisi ini terus terjadi, saya yakin sekolah disitu tidak lebih dari pencapaian baca tulis, titik.

    seperti komentar saya di posting "Guru Killer". Sudah merupakan keharusan untuk melakukan pendidikan dengan menggerakan semua elemen masyarakat sampai ke akar rumput. agar cita-cita luhur bisa dicapai.

    Teruslah Berjuang Pak Guru! saya mendukung anda.

    SALAM SUKSES = BLOG MOTIVASI MENTAL =

    BalasHapus
  14. ngeri amat Mas... lha tak kira sudah ndak ada yang seperti itu. dulu Paman saya pas awal ngajar di Bengkulu mengalami hal yang hampir sama. tapi alhamdulillah, sekarang dah nggak terjadi lagi yang seperti itu. bahkan beliau menjadi guru kesayangan di sana sekarang. ketika saya tanya rahasianya, beliau mengatakan, "Saya hanya menyentuh mereka dengan hati. memperlakukan mereka seperti sebagaimana saya ingin diperlakukan oleh mereka"

    BalasHapus
  15. Guru adalah profesi yang hebat. Ketika jepang diluluhlantakan dengan Bom Atom. Dan jepang berniat membangun kembali negaranya pasca kehancuran itu. Yang paling ditanyakan pertamakali oleh kaisar jepang adalah "Berapa jumlah tenaga guru yang kita miliki sekarang?"..
    kalau seperti tulisan Mas Umar, Guru juga bisa menjadi salah satu negosiator handal dalam meyebarkan pendidikan ke masyarakat feodal..

    BalasHapus
  16. Susah juga ya mas? jadi guru di pedalaman.
    Saya jadi inget film laskar pelangi.

    Btw... banner berjalan di bawah keren banget mas. Tambah sip ae

    BalasHapus
  17. @ Sumartono
    Seingat saya sih tidak ada materi kuliah tentang ketahanan mental, mas. Kekuatan kita hanya bermodal do'a dan keikhlasan.

    @ Handoko Tantra
    Seharusnya memang begitu Mas Tantra. Entah sampai kapan kita menunggu yang pasti di saat kita menunggu itu peristiwa sudah kita hadapi. Mau bagaimana lagi jika sudah begini. Terlalu rumit memang menghadapi kondisi seperti ini, namun kita tetap yakin bahwa semua akan berubah dan menjadi lebih baik. Walaupun jalan ke arah sana mungkin terlalu terjal.

    @ Fadly Muin
    Sangat banr Mas Fadly. Pertentangan-pertentangan itu justru datangnya dari masyarakat itu sendiri.
    Andai saja Anda adalah guru di sini dan mengetahui secara jelas akar permasalahannya, mungkin saja akan mengelus dada. Karena dari awal, orang tua murid telah membekali anak-anaknya dengan doktrin yang salah sebelum berangkat ke sekolah.

    @ Onabunga
    Hahaha... ini baru cerita saja Mbak Ona, kok anda sudah ngeri. Lha, bagaimana kalau aslinya, wah bisa tambah semaput, hehehe...
    Untuk interaksi dengan guru, mungkin masih bisa ditanggulangi dengan penyikapan sebaik mungkin. Nah, yang terjadi justru masalah yang sengaja dibuat di kalangan siswa itu sendiri. Ini memang disengaja untuk memancing reaksi dipihak lawan mereka. Dan bila dituruti, maka terjadilah malapetaka besar.

    @ Wawan Purnama
    Betul Mas Wawan, disitulah peran fundamental guru baru terasa. Dan bila ini diabaikan, maka tinggal menunggu saat kehancuran saja.
    Namun begitu, Mas! lain Jepang lain Indonesia. Indonesia belum sepandai Jepang, jadi peran guru di negara ini masih belum dianggap terlalu signifikan.

    @ Arief Maulana
    Susah senang harus dijalani. Anak bangsa di negeri ini kan bukan di kota saja, melainkan di seluruh penjuru negeri ini. Siapa lagi yang bisa memperhatikan mereka dan mencerdaskannya serta mengangkatnya menuju derajat yang mulia, jika tidak guru-guru yang ada.

    Salam Istimewa

    BalasHapus
  18. Membaca tulisan Mas Umar saya jadi teringat gelar "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", luar biasa mas menjadi seorang guru apalagi berada di daerah yang sedang mengalami proses perubahan sosial dan keadaan masyarakatnya yang "kurang" menyenangkan seperti ini. Saya banyak dapat cerita dari teman-teman guru di daerah lain mengenai hal-hal seperti ini.
    Simpati saya yang paling dalam untuk anda dan teman-teman anda.
    Hidup Pahlawanku.!
    Salam sukses.

    BalasHapus
  19. Sebuah gambaran yang cukup memprihatinkan ya mas, ditengah modernisasi sistem pendidikan yang sedang digalakkan pemerintah kita, ternyata nun jaun dipelosok negeri ini masih ada saja saudara" kita yang menjalani profesi mereka dengan kondisi yang serba terbatas.

    Rumah baru ya mas, btw fotonya kok jadi mirip pak joko siy :)

    BalasHapus
  20. Mas Umar telah membuka mata kita semua akan kondisi sebenarnya pendidikan di luar Jawa. Semoga ini menjadi perhatian berbagai pihak agar para pendidik bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal.

    BalasHapus